Bagi para aktivis mahasiswa, peringatan HAKI bukan sekadar seremoni belaka. Ini adalah momentum refleksi, sejauh mana peran mereka dalam mengawal kebijakan publik agar tetap berada pada jalur yang benar. Mahasiswa, sebagai bagian dari kaum intelektual, memiliki tanggung jawab moral untuk terus mengawasi, mengkritisi, dan mengingatkan pemerintah agar tidak terjebak dalam pusaran korupsi yang merusak tatanan demokrasi.
Korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar masalah individu, melainkan sudah menjadi persoalan sistemik. Berkali-kali kita melihat kasus besar yang melibatkan pejabat publik, dari tingkat daerah hingga nasional. Pilkada sebagai mekanisme demokrasi sejatinya bertujuan untuk melahirkan pemimpin yang amanah. Namun, bagaimana jika prosesnya justru dirusak oleh politik uang dan transaksi kepentingan? Bukankah itu adalah pintu masuk bagi praktik korupsi yang lebih besar?
Dalam konteks ini, masyarakat juga harus lebih cerdas dan kritis dalam memilih pemimpin. Jangan sampai pragmatisme jangka pendek seperti menerima uang atau bantuan menjelang pemilu membuat kita kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar peduli pada rakyat. Pilkada seharusnya menjadi momen memilih pemimpin dengan rekam jejak bersih, bukan sekadar yang paling banyak memberi janji manis.
Selain itu, peran lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ombudsman, dan aparat penegak hukum lainnya harus terus diperkuat. Tanpa penegakan hukum yang tegas, korupsi hanya akan menjadi lingkaran setan yang terus berulang. Di sisi lain, kesadaran masyarakat untuk tidak memberi ruang bagi praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari juga harus ditingkatkan.