Di tengah derasnya arus kemajuan teknologi, mahasiswa dihadapkan pada dua pilihan: tenggelam dalam kenyamanan dunia digital atau menjadikannya sebagai alat untuk membawa perubahan nyata bagi masyarakat. Perkembangan zaman memang tak terelakkan, tetapi bukan berarti kita boleh abai terhadap realitas sosial di sekitar. Sebagaimana yang dikatakan Tan Malaka, pendidikan tidak ada gunanya jika pemuda tidak bergaul dengan para petani dan pedagang. Artinya, ilmu yang kita dapatkan di bangku kuliah harus dikonversi menjadi aksi nyata, bukan hanya sekadar wacana di ruang diskusi atau sebatas narasi di media sosial.
Mahasiswa hari ini memiliki banyak peluang untuk berkontribusi. Selain aktif berorganisasi dan belajar kepemimpinan, mereka juga harus membekali diri dengan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman. Misalnya, mahasiswa pertanian bisa membantu petani memahami teknik pertanian berbasis teknologi, mahasiswa ekonomi dapat membimbing UMKM dalam mengelola keuangan dan pemasaran digital, sementara mahasiswa teknik bisa mengembangkan solusi teknologi untuk permasalahan di daerahnya. Kita tidak bisa hanya menjadi penonton di era perubahan ini—harus ada langkah nyata agar ilmu yang kita miliki benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Refleksi menjadi salah satu cara bagi mahasiswa untuk mengevaluasi perjalanan mereka dalam berorganisasi dan berkontribusi. Acara seperti ini bukan hanya ajang introspeksi, tetapi juga momen untuk mengisi ulang semangat perjuangan. Ada kalanya kita merasa jenuh dengan rutinitas kampus dan organisasi, sehingga kegiatan di alam terbuka bisa menjadi penyegaran yang sangat dibutuhkan.
Kawah Galunggung menjadi tempat yang pas ketika saya dan teman-teman berencana mengadakan kegiatan dengan tema Refleksi. Beruntung, Desember tahun lalu cuacanya tidak seekstrem tahun ini. Sabtu pagi, saya menyusul teman-teman yang telah berangkat lebih awal ke Galunggung untuk mendirikan camp. Setibanya di tangga pertama, saya masih cukup semangat dan yakin bisa sampai ke kawah lebih cepat dari biasanya. Kenyataannya, belum setengah perjalanan mendaki tangga, saya sudah ngos-ngosan dan harus berhenti beberapa kali.
Setumpuk aktivitas di organisasi menjadi salah satu alasan kurangnya olahraga. Alhasil, ketika menaiki tangga Kawah Galunggung, rasa capeknya luar biasa terasa. Tapi rasa lelah itu tak menyurutkan semangat untuk segera menginjakkan kaki di kawah. Ada satu kenyamanan yang selalu saya rasakan saat mengadakan kegiatan di alam: suasana sunyi, udara dingin, perjuangan mendirikan camp di tengah hujan, lapar berjamaah, dan obrolan ringan yang semakin mempererat kebersamaan. Semua itu menjadi bumbu penyedap dalam setiap perjalanan refleksi di alam bebas.
Saya bukan bagian dari komunitas Pecinta Alam yang terbiasa mendaki gunung-gunung tinggi atau mengambil baju seragam di puncak Ciremai. Tapi setidaknya, pergaulan dengan teman-teman PA memberikan banyak pengalaman dan cerita berharga mengenai alam. Alam selalu memperlihatkan karakteristik asli seseorang, mengajarkan kebersamaan, kesabaran, dan ketangguhan.
Begitu pula dengan kegiatan Refleksi yang kami laksanakan saat itu. Ini bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin untuk bangkit dari kelelahan dan kejenuhan menghadapi realitas. Foto ini mengingatkan saya kembali: saatnya Desember kembali berbaur dengan alam, menjaga tradisi, melestarikan lingkungan, dan tentu saja, menikmati liburan dengan lebih bermakna.
Oleh Azka Sudrajat
Penulis adalah Ketua Umum PC PMII Kota Taiskmalaya 2014-2015