Selasa, 08 Desember 2015

Menakar Pilkada: Antara Harapan dan Realitas


Hari ini, Rabu, 9 Desember 2015, menjadi momen krusial bagi sebagian warga negara yang akan memilih pemimpin daerah mereka, termasuk di Kabupaten Tasikmalaya. Pilkada serentak digelar dengan harapan membawa perubahan, memilih pemimpin yang benar-benar mampu menjawab kebutuhan rakyat, dan tentu saja, menentukan arah kebijakan yang berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari. Namun, seberapa besar antusiasme masyarakat dalam menyambut pesta demokrasi ini?


Di banyak daerah, partisipasi pemilih masih menjadi tantangan besar. Sebagian masyarakat tetap antusias menggunakan hak pilihnya, sementara yang lain justru bersikap apatis. Ada yang merasa suaranya tidak akan mengubah apa pun, ada pula yang kecewa dengan kualitas calon pemimpin yang tersedia. Padahal, pilkada bukan hanya soal memilih kepala daerah, tetapi juga menentukan kebijakan yang akan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat selama lima tahun ke depan.


Isu politik uang juga masih menjadi momok dalam setiap gelaran pemilu, termasuk pilkada. Tidak bisa dimungkiri, praktik ini masih marak terjadi, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Masyarakat yang dalam kondisi ekonomi sulit kerap menjadi sasaran empuk, menerima uang atau bantuan sembako dengan iming-iming memilih calon tertentu. Jika pemimpin yang terpilih lahir dari praktik semacam ini, bagaimana mungkin kita berharap adanya kepemimpinan yang bersih dan berorientasi pada kepentingan rakyat?


Selain itu, media sosial kini menjadi arena baru dalam pertempuran politik. Informasi, propaganda, dan bahkan hoaks bertebaran di berbagai platform digital, membentuk opini publik dalam hitungan jam. Kampanye yang dulu didominasi oleh pertemuan fisik dan pemasangan spanduk, kini beralih ke perang narasi di dunia maya. Pertanyaannya, apakah masyarakat sudah cukup bijak dalam memilah informasi yang benar, atau justru semakin terjebak dalam polarisasi?


Di sisi lain, kita juga perlu bertanya: apakah pilkada benar-benar menghasilkan pemimpin yang kita butuhkan, atau justru hanya melanggengkan dominasi kelompok tertentu? Tidak jarang, politik dinasti masih menjadi fenomena yang sulit dihindari. Beberapa daerah bahkan memiliki pola pemimpin yang silih berganti dalam lingkaran keluarga atau kelompok tertentu, seolah kursi kepemimpinan hanya bisa diwarisi, bukan diraih dengan kompetensi.


Pada akhirnya, pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga cerminan dari kualitas demokrasi kita. Jika masyarakat memilih berdasarkan kepentingan jangka pendek atau sekadar ikut-ikutan, maka hasil yang didapat pun akan sesuai dengan itu. Namun, jika pemilih semakin kritis dan sadar akan hak serta tanggung jawabnya, maka peluang untuk mendapatkan pemimpin yang benar-benar berintegritas akan semakin besar.


Dan pertanyaan paling nyeleneh yang patut kita renungkan: Jika dalam pemilihan ini ternyata hanya tersedia calon yang "kurang baik" dan "lebih tidak baik," apakah kita masih harus memilih, atau lebih baik kita serahkan saja pada dadu keberuntungan? 


Oleh Azka Sudrajat
Penulis adalah Ketua Umum PC PMII Kota Tasikmalaya 2014-2015

Related Posts

Menakar Pilkada: Antara Harapan dan Realitas
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.

0 Comments