Senin, 14 April 2025

65 Tahun PMII: Antara Jalan Sunyi Kaderisasi dan Hiruk Pikuk Tantangan Global


Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kini menginjak usia ke-65, tentu bukanlah usia yang muda. Ini adalah momen penting untuk merefleksikan perjalanan panjang organisasi ini dalam mewarnai dinamika kebangsaan, keumatan, dan keindonesiaan. PMII hadir tidak hanya sebagai ruang perkaderan intelektual, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konstelasi gerakan mahasiswa. Namun, tantangan hari ini tak lagi sama dengan masa lalu. PMII perlu menyesuaikan langkah, mengevaluasi pendekatan, dan merancang ulang strategi agar tetap relevan di tengah perubahan zaman yang begitu cepat.

Salah satu tantangan besar yang harus dihadapi PMII adalah transformasi digital. Perkembangan teknologi saat ini bukan hanya soal alat, tapi soal cara berpikir dan bertindak. PMII tidak bisa terus berkutat dalam pola gerakan lama yang terlalu elitis dan eksklusif. Hari ini, generasi muda lebih responsif terhadap narasi yang dikemas secara visual, cepat, dan interaktif. Maka, kader PMII harus mampu hadir di ruang-ruang digital — tidak hanya menjadi penonton, tetapi menjadi produsen gagasan dan konten yang mencerahkan, membela kepentingan rakyat, dan mengawal nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.

Saat dunia sudah bicara tentang kecerdasan buatan, green economy, dan global citizenship, kita masih sibuk memperdebatkan siapa yang layak duduk di kursi ketua. Bukankah sudah waktunya kader PMII hadir sebagai pemimpin pemikiran dan inovasi, bukan hanya pemegang stempel organisasi?

Padahal, di setiap kader PMII tersembunyi potensi besar—jika diasah dengan benar—untuk menjadi lokomotif perubahan. Namun potensi itu tak akan tumbuh di ruang-ruang formalistik belaka. Dibutuhkan keberanian untuk membuka jalan baru dalam kaderisasi: yang memadukan spiritualitas, intelektualitas, kreativitas, dan sensitivitas sosial dalam satu tarikan napas.

PMII perlu menanamkan semangat produktif di dunia digital, hadir dalam diskursus publik secara relevan, dan menjadi rumah kolaboratif lintas sektor. Kaderisasi tidak boleh hanya menghasilkan “aktivis struktural”, tapi juga inovator sosial, pendamping masyarakat, dan pemikir strategis masa depan.

Maka di usia yang ke-65 ini, sudah saatnya PMII tak hanya sibuk merayakan harlah secara seremonial, tetapi menjadikan momen ini sebagai titik balik untuk mengevaluasi arah gerakan. Lantas, di tengah tantangan global dan hiruk pikuk media sosial, apakah kaderisasi PMII masih membentuk pejuang ideologis, atau hanya melahirkan kader yang jago debat tapi bingung membedakan mana musuh, mana algoritma?

Azka Sudrajat 
Ketua LAKPESDAM PCNU Kota Tasikmalaya

Selasa, 18 Februari 2025

Tren Jalan Kaki ke Mekah: Ibadah atau Konten Sensasi?

 

Media sosial kembali diramaikan oleh tren unik—beberapa orang bertekad melakukan perjalanan ke Mekah dengan cara tak biasa. Ada yang berjalan kaki, bahkan ada yang nekat menyeberangi lautan dengan perahu dari galon bekas. Fenomena ini memancing beragam reaksi dari netizen, mulai dari dukungan hingga cibiran. Beberapa mempertanyakan apakah ini benar-benar niat ibadah atau sekadar mencari perhatian dan gift di TikTok.


Secara syariat, ibadah haji memang diwajibkan bagi yang mampu, baik secara fisik maupun finansial. Jika seseorang tidak memiliki kemampuan, maka tidak ada kewajiban baginya. Oleh karena itu, tindakan memaksakan diri dengan cara ekstrem justru berpotensi membahayakan diri sendiri. Islam mengajarkan bahwa keselamatan adalah hal yang utama, sehingga tindakan nekat seperti ini perlu dipertimbangkan ulang.


Di sisi lain, ada juga yang berargumen bahwa perjalanan spiritual selalu memiliki makna mendalam, tak peduli caranya. Mereka melihat aksi ini sebagai bentuk pengorbanan dan perjuangan dalam mencapai tanah suci. Namun, jika dilakukan tanpa perhitungan matang dan mengabaikan keselamatan, maka niat baik ini bisa berujung pada hal yang tidak diinginkan.


Fenomena ini juga mengingatkan kita pada keberadaan jalur alternatif yang lebih aman untuk perjalanan spiritual. Beberapa netizen menyindir dengan menyebut Goa Safarwadi di Pamijahan, Tasikmalaya, yang konon memiliki terowongan mistis menuju Mekah. Meski ini lebih ke arah mitos, sindiran ini menunjukkan bahwa masyarakat menyadari ada cara yang lebih rasional dibandingkan sekadar mengikuti tren ekstrem di media sosial.


Selain itu, tren ini juga mencerminkan bagaimana media sosial membentuk cara berpikir dan bertindak sebagian orang. Dalam era digital, ibadah dan spiritualitas bisa saja bercampur dengan budaya konten dan pencarian eksistensi. Jika niat utamanya lebih condong ke popularitas atau keuntungan material dari platform digital, maka esensi ibadahnya patut dipertanyakan.


Namun, alih-alih sekadar nyinyir atau mencemooh, lebih baik fenomena ini menjadi bahan refleksi. Bagaimana seharusnya seseorang mengekspresikan kecintaan terhadap agama tanpa kehilangan esensi ibadah itu sendiri? Dan bagaimana media sosial bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan inspirasi yang lebih positif tanpa terjebak dalam sekadar aksi sensasional?


Apakah media sosial saat ini telah menggeser makna ibadah menjadi sekadar konten demi popularitas?


Penulis adalah Pengurus LAKPESDAM PCNU Kota Tasikmalaya

Rabu, 16 Oktober 2024

23 Tahun Kota Tasikmalaya : Antara Ingatan, Tantangan, dan Harapan



Usia yang ke 23 tahun telah menandai perjalanan panjang Kota Tasikmalaya dalam mengukir sejarah dan mewarnai kehidupan warganya. Sebagai salah satu daerah termuda, Kota Tasikmalaya telah mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Namun, di balik gemerlap perkembangan tersebut, terdapat sejumlah tantangan yang perlu kita renungkan bersama.


Paradoks antara status sebagai pusat ekonomi dan tingginya angka kemiskinan menjadi salah satu isu krusial yang perlu segera diatasi. Begitu pula dengan masalah sampah yang semakin menggunung dan mengancam lingkungan. Ingatan akan Tasikmalaya sebagai Kota Resik perlu kita kobarkan kembali.


Masalah kemiskinan yang masih menghantui sebagian warga, maraknya aksi geng motor, badut anak, anak jalanan, hingga persoalan stunting yang mengancam generasi penerus, menjadi catatan penting yang harus kita renungkan.


Bahkan dulu, kita mengenal Kota Tasik sebagai Kota Seribu Bukit. Namun, keindahan alam itu perlahan terkikis oleh eksploitasi yang tak terkendali. Bukit-bukit gundul menjadi saksi bisu atas ketidakpedulian kita terhadap lingkungan.


Ditengah berbagai tantangan tersebut, kita patut bersyukur atas tumbuh suburnya industri kreatif di Kota Tasikmalaya. Kreativitas anak muda Tasik sangat luar biasa, ini adalah bukti bahwa potensi muda, semangat inovasi dan kolaborasi masih sangat tinggi di kota ini.


Ke depan, kita harus membangun optimisme bahwa Kota Tasikmalaya akan menjadi kota yang lebih baik lagi. Dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai pihak terkait, kita mampu mewujudkan sebuah Kota di mana setiap warganya dapat hidup dengan layak dan sejahtera.


Wilujeng milangkala ke 23 Kota Tasikmalaya. Mari kita jadikan momentum ulang tahun ini sebagai titik balik untuk membangun Kota Tasikmalaya yang lebih maju berkelanjutan dan inklusif.


Azka Sudrajat

Ketua LAKPESDAM PCNU Kota Tasikmalaya

Jumat, 01 Juli 2022

Mengembangkan Pola Kaderisasi Nahdlatul Ulama di Perkotaan

 



Kaderisasi Nahdlatul Ulama (NU) selama ini lebih banyak berkembang di lingkungan pesantren dan pedesaan, di mana tradisi keislaman Aswaja An-Nahdliyyah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun, seiring dengan urbanisasi yang pesat, tantangan baru muncul bagi NU dalam menjaga dan memperkuat kaderisasi di wilayah perkotaan. Kehidupan yang serba cepat, modernisasi, serta beragamnya pemikiran keislaman di perkotaan menuntut NU untuk beradaptasi dalam membina kader-kadernya agar tetap relevan dan mampu menghadapi dinamika sosial yang lebih kompleks.


Salah satu tantangan utama kaderisasi NU di perkotaan adalah minimnya interaksi langsung antara kader dan ulama. Jika di pesantren santri dapat dengan mudah mendapatkan bimbingan dari kiai, di perkotaan banyak anak muda NU yang lebih banyak berinteraksi dengan informasi digital yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai Aswaja. Oleh karena itu, NU perlu mengembangkan strategi kaderisasi berbasis teknologi, seperti kajian daring, kelas pemikiran Islam digital, serta platform komunitas yang dapat menghubungkan para kader dengan ulama dan tokoh NU.


Selain itu, kaderisasi di perkotaan harus mampu menjangkau berbagai kalangan, terutama profesional muda dan mahasiswa yang hidup di lingkungan yang lebih sekuler. Pendekatan yang lebih inklusif dan fleksibel harus diterapkan agar nilai-nilai NU tidak hanya eksklusif untuk kalangan pesantren, tetapi juga dapat diadopsi oleh masyarakat perkotaan yang memiliki gaya hidup dan pola pikir yang lebih modern. Kegiatan-kegiatan intelektual seperti diskusi tematik, pengembangan ekonomi berbasis NU, serta keterlibatan dalam isu-isu sosial menjadi cara yang efektif untuk menarik generasi muda perkotaan.


NU juga perlu mengembangkan pola kaderisasi yang lebih adaptif terhadap tantangan zaman, termasuk dengan memperkuat gerakan sosial dan kepemimpinan. Di perkotaan, kader NU harus dibekali dengan kemampuan advokasi, manajemen organisasi, serta pemanfaatan media untuk menyebarkan gagasan-gagasan Islam yang moderat. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi penerus tradisi NU, tetapi juga menjadi agen perubahan yang aktif dalam menjawab berbagai persoalan umat dan bangsa.


Pada akhirnya, kaderisasi NU di perkotaan termasuk di Kota Tasikmalaya bukan hanya soal mempertahankan identitas keislaman, tetapi juga bagaimana mencetak kader yang mampu membawa nilai-nilai NU ke dalam berbagai aspek kehidupan modern. Jika NU mampu menyesuaikan pola kaderisasinya dengan kebutuhan masyarakat perkotaan, maka NU tidak hanya akan tetap eksis, tetapi juga semakin kuat dalam menghadapi tantangan zaman.


Apakah kita sudah cukup berperan dalam mencetak kader NU yang tidak hanya memahami nilai-nilai tradisional, tetapi juga mampu menjawab tantangan dunia modern? Atau justru kita masih terjebak dalam pola kaderisasi lama yang kurang relevan dengan realitas perkotaan saat ini?


Tasikmalaya 2 Juli 2022

Oleh Azka Sudrajat

Penulis adalah Pengurus LAKPESDAM PCNU Kota Tasikmalaya

Jumat, 18 Juni 2021

Anak Muda Membangun Desa: Peluang atau Tantangan?

 



Dalam beberapa tahun terakhir, isu urbanisasi menjadi perhatian utama. Banyak anak muda memilih meninggalkan desa demi mencari peluang di kota. Akibatnya, desa kehilangan sumber daya manusia potensial, sementara kota semakin padat dan kompetitif. Padahal, dengan kemajuan teknologi dan akses informasi yang semakin luas, desa bukan lagi tempat yang tertinggal, melainkan ladang peluang yang siap digarap oleh generasi muda.


Anak muda memiliki kreativitas, semangat, dan inovasi yang bisa menjadi kunci dalam membangun desa. Dengan memanfaatkan teknologi digital, mereka bisa mengembangkan ekonomi kreatif berbasis lokal, seperti mengelola produk pertanian secara modern, membuka usaha berbasis e-commerce, hingga membangun ekowisata. Jika dikelola dengan baik, desa bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru yang tidak kalah dengan kota.


Selain aspek ekonomi, anak muda juga bisa berkontribusi dalam sektor sosial dan pendidikan. Mereka bisa menginisiasi gerakan literasi, mendirikan komunitas kreatif, atau bahkan mengembangkan sistem edukasi berbasis teknologi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di desa. Kehadiran mereka bisa menjadi inspirasi bagi generasi muda lainnya untuk tetap membangun daerah asalnya.


Namun, membangun desa bukan tanpa tantangan. Salah satu masalah utama adalah pola pikir yang menganggap desa sebagai tempat yang kurang menjanjikan. Kurangnya infrastruktur dan aksesibilitas juga menjadi hambatan tersendiri. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara anak muda, pemerintah, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan desa.


Pemerintah dan berbagai lembaga terkait juga memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem yang kondusif bagi anak muda yang ingin membangun desa. Program inkubasi bisnis, pelatihan keterampilan, serta akses pendanaan harus lebih diperhatikan agar anak muda tidak merasa sendiri dalam perjuangannya. Dengan adanya dukungan yang kuat, desa bisa berkembang lebih cepat dan berkelanjutan.


Pada akhirnya, membangun desa bukan hanya tentang kembali ke kampung halaman, tetapi juga tentang menciptakan perubahan yang berdampak luas. Dengan semangat, kreativitas, dan dukungan yang tepat, desa bisa menjadi tempat yang penuh peluang, bukan sekadar pilihan terakhir.


Jadi, apakah kita masih menganggap bahwa membangun desa hanyalah tugas generasi tua, atau justru menjadi tantangan yang menarik bagi anak muda masa kini?


Tasikmalaya, 19 Juni 2021

Oleh Azka Sudrajat

Staff Senior Pemberdayaan Masyarakat Desa

DPMDesa Provinsi Jawa Barat

Jumat, 30 April 2021

Organ Ekstra Kampus, Apakah Masih Penting?

 

Organisasi ekstra kampus telah lama menjadi wadah bagi mahasiswa untuk mengasah kepemimpinan, memperluas wawasan, dan mengembangkan keterampilan di luar kurikulum akademik. Sejak dahulu, berbagai organisasi seperti PMII, HMI, GMNI, IMM, dan lainnya telah berperan dalam mencetak kader-kader bangsa yang kritis dan progresif. Namun, di tengah perubahan zaman dan perkembangan teknologi yang pesat, muncul pertanyaan: apakah organisasi ekstra kampus masih relevan dan penting bagi mahasiswa saat ini?


Di era digital dan disrupsi teknologi, mahasiswa memiliki banyak pilihan untuk belajar dan berkembang. Pelatihan online, komunitas virtual, hingga program magang dari berbagai startup menawarkan pengalaman yang tak kalah menarik. Hal ini membuat sebagian mahasiswa merasa bahwa bergabung dengan organisasi ekstra kampus tidak lagi menjadi prioritas. Mereka lebih memilih jalur yang dianggap lebih praktis dan langsung berdampak pada karier.


Namun, keberadaan organisasi ekstra kampus tetap memiliki nilai strategis yang tidak dapat tergantikan. Organisasi ini bukan sekadar tempat berkumpul, melainkan ruang bagi mahasiswa untuk berlatih kepemimpinan, memahami dinamika sosial, serta membangun jaringan yang luas. Tidak semua keterampilan tersebut bisa didapatkan melalui perkuliahan atau pelatihan berbasis online. Proses kaderisasi dalam organisasi ekstra kampus juga mengajarkan nilai-nilai perjuangan, loyalitas, dan keberpihakan terhadap masyarakat yang sering kali terabaikan dalam sistem pendidikan formal.


Selain itu, organisasi ekstra kampus masih berperan sebagai kekuatan penyeimbang dalam kehidupan kampus dan masyarakat. Mereka menjadi wadah bagi mahasiswa yang ingin menyuarakan aspirasi serta melakukan advokasi terhadap isu-isu yang penting, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan kebijakan publik. Dalam banyak kasus, gerakan mahasiswa yang berasal dari organisasi ekstra kampus telah mampu mendorong perubahan kebijakan dan menciptakan dampak sosial yang signifikan.


Namun, tantangan terbesar bagi organisasi ekstra kampus saat ini adalah bagaimana mereka beradaptasi dengan perkembangan zaman. Pola kaderisasi yang terlalu kaku, gaya komunikasi yang masih konvensional, serta kurangnya pemanfaatan teknologi membuat sebagian organisasi ini kehilangan daya tarik di mata mahasiswa. Jika ingin tetap relevan, organisasi ekstra kampus harus mampu mengemas gerakan mereka dengan lebih inovatif, memanfaatkan media digital, serta menawarkan program yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa era sekarang.


Pada akhirnya, penting atau tidaknya organisasi ekstra kampus sangat bergantung pada bagaimana mereka mampu bertransformasi dan memberikan manfaat nyata bagi anggotanya. Jika hanya menjadi wadah seremonial tanpa kontribusi konkret, maka wajar jika minat mahasiswa semakin menurun. Namun, jika mampu beradaptasi dan memberikan nilai tambah, maka organisasi ekstra kampus akan tetap menjadi tempat terbaik untuk membentuk karakter, kepemimpinan, dan kontribusi mahasiswa terhadap bangsa.


Jadi, apakah organisasi ekstra kampus masih penting? Jawabannya tergantung pada bagaimana mahasiswa melihat peran mereka. Apakah sebagai bagian dari sejarah yang mulai usang, atau sebagai ruang perjuangan yang perlu diperbarui untuk menghadapi tantangan zaman?


1 Maret 2021

Oleh Azka Sudrajat

Penulis adalah Sekretaris LAKPESDAM PCNU Tasikmalaya