Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang kini menginjak usia ke-65, tentu bukanlah usia yang muda. Ini adalah momen penting untuk merefleksikan perjalanan panjang organisasi ini dalam mewarnai dinamika kebangsaan, keumatan, dan keindonesiaan. PMII hadir tidak hanya sebagai ruang perkaderan intelektual, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam konstelasi gerakan mahasiswa. Namun, tantangan hari ini tak lagi sama dengan masa lalu. PMII perlu menyesuaikan langkah, mengevaluasi pendekatan, dan merancang ulang strategi agar tetap relevan di tengah perubahan zaman yang begitu cepat.
Salah satu tantangan besar yang harus dihadapi PMII adalah transformasi digital. Perkembangan teknologi saat ini bukan hanya soal alat, tapi soal cara berpikir dan bertindak. PMII tidak bisa terus berkutat dalam pola gerakan lama yang terlalu elitis dan eksklusif. Hari ini, generasi muda lebih responsif terhadap narasi yang dikemas secara visual, cepat, dan interaktif. Maka, kader PMII harus mampu hadir di ruang-ruang digital — tidak hanya menjadi penonton, tetapi menjadi produsen gagasan dan konten yang mencerahkan, membela kepentingan rakyat, dan mengawal nilai-nilai Islam rahmatan lil ‘alamin.
Saat dunia sudah bicara tentang kecerdasan buatan, green economy, dan global citizenship, kita masih sibuk memperdebatkan siapa yang layak duduk di kursi ketua. Bukankah sudah waktunya kader PMII hadir sebagai pemimpin pemikiran dan inovasi, bukan hanya pemegang stempel organisasi?
Padahal, di setiap kader PMII tersembunyi potensi besar—jika diasah dengan benar—untuk menjadi lokomotif perubahan. Namun potensi itu tak akan tumbuh di ruang-ruang formalistik belaka. Dibutuhkan keberanian untuk membuka jalan baru dalam kaderisasi: yang memadukan spiritualitas, intelektualitas, kreativitas, dan sensitivitas sosial dalam satu tarikan napas.
PMII perlu menanamkan semangat produktif di dunia digital, hadir dalam diskursus publik secara relevan, dan menjadi rumah kolaboratif lintas sektor. Kaderisasi tidak boleh hanya menghasilkan “aktivis struktural”, tapi juga inovator sosial, pendamping masyarakat, dan pemikir strategis masa depan.
Maka di usia yang ke-65 ini, sudah saatnya PMII tak hanya sibuk merayakan harlah secara seremonial, tetapi menjadikan momen ini sebagai titik balik untuk mengevaluasi arah gerakan. Lantas, di tengah tantangan global dan hiruk pikuk media sosial, apakah kaderisasi PMII masih membentuk pejuang ideologis, atau hanya melahirkan kader yang jago debat tapi bingung membedakan mana musuh, mana algoritma?