Selasa, 18 Februari 2025

Tren Jalan Kaki ke Mekah: Ibadah atau Konten Sensasi?

 

Media sosial kembali diramaikan oleh tren unik—beberapa orang bertekad melakukan perjalanan ke Mekah dengan cara tak biasa. Ada yang berjalan kaki, bahkan ada yang nekat menyeberangi lautan dengan perahu dari galon bekas. Fenomena ini memancing beragam reaksi dari netizen, mulai dari dukungan hingga cibiran. Beberapa mempertanyakan apakah ini benar-benar niat ibadah atau sekadar mencari perhatian dan gift di TikTok.


Secara syariat, ibadah haji memang diwajibkan bagi yang mampu, baik secara fisik maupun finansial. Jika seseorang tidak memiliki kemampuan, maka tidak ada kewajiban baginya. Oleh karena itu, tindakan memaksakan diri dengan cara ekstrem justru berpotensi membahayakan diri sendiri. Islam mengajarkan bahwa keselamatan adalah hal yang utama, sehingga tindakan nekat seperti ini perlu dipertimbangkan ulang.


Di sisi lain, ada juga yang berargumen bahwa perjalanan spiritual selalu memiliki makna mendalam, tak peduli caranya. Mereka melihat aksi ini sebagai bentuk pengorbanan dan perjuangan dalam mencapai tanah suci. Namun, jika dilakukan tanpa perhitungan matang dan mengabaikan keselamatan, maka niat baik ini bisa berujung pada hal yang tidak diinginkan.


Fenomena ini juga mengingatkan kita pada keberadaan jalur alternatif yang lebih aman untuk perjalanan spiritual. Beberapa netizen menyindir dengan menyebut Goa Safarwadi di Pamijahan, Tasikmalaya, yang konon memiliki terowongan mistis menuju Mekah. Meski ini lebih ke arah mitos, sindiran ini menunjukkan bahwa masyarakat menyadari ada cara yang lebih rasional dibandingkan sekadar mengikuti tren ekstrem di media sosial.


Selain itu, tren ini juga mencerminkan bagaimana media sosial membentuk cara berpikir dan bertindak sebagian orang. Dalam era digital, ibadah dan spiritualitas bisa saja bercampur dengan budaya konten dan pencarian eksistensi. Jika niat utamanya lebih condong ke popularitas atau keuntungan material dari platform digital, maka esensi ibadahnya patut dipertanyakan.


Namun, alih-alih sekadar nyinyir atau mencemooh, lebih baik fenomena ini menjadi bahan refleksi. Bagaimana seharusnya seseorang mengekspresikan kecintaan terhadap agama tanpa kehilangan esensi ibadah itu sendiri? Dan bagaimana media sosial bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan inspirasi yang lebih positif tanpa terjebak dalam sekadar aksi sensasional?


Apakah media sosial saat ini telah menggeser makna ibadah menjadi sekadar konten demi popularitas?


Penulis adalah Pengurus LAKPESDAM PCNU Kota Tasikmalaya

Related Posts

Tren Jalan Kaki ke Mekah: Ibadah atau Konten Sensasi?
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.

0 Comments