![]() |
Gambar. Harian Nasional Republika |
Ketika mendengar kata sosok, kebanyakan orang mungkin langsung teringat pada hal-hal mistis—bayangan samar, makhluk astral yang hanya bisa dilihat oleh orang-orang tertentu. Misalnya, "Tadi malam saya melihat sesosok pocong melompat-lompat sambil berteriak tolong di dekat rumah tetangga." Tapi, ternyata sosok juga bisa berarti sesuatu yang lebih nyata, lebih bermakna.
Beberapa waktu lalu, nama saya muncul di kolom Sosok Harian Nasional Republika. Sebuah kejutan, karena kolom ini biasanya diisi oleh tokoh-tokoh nasional, orang-orang dengan kontribusi besar di bidangnya. Sebagai seorang Komisioner KPAI Kota Tasikmalaya, tentu saya tidak pernah membayangkan akan masuk ke dalamnya. Saya bertemu dengan seorang jurnalis yang sedang mencari perspektif untuk berita tentang Problem Pergaulan Remaja dan Perlindungan Anak di Kota Tasikmalaya. Awalnya, saya pikir pendapat saya hanya akan menjadi kutipan tambahan dalam liputan utama yang berfokus pada wawancara Walikota. Tapi, siapa sangka, justru komentar saya mendapat ruang tersendiri di kolom Sosok.
Reaksi pertama saya? Tertawa kecil. Rasanya berlebihan jika seorang Ajat Sudrajat masuk dalam kolom yang biasanya berisi nama-nama besar. Namun, setelah dipikir-pikir, ini bukan soal siapa saya, melainkan tentang bagaimana ide, pandangan, dan perjuangan dalam perlindungan anak bisa sampai ke lebih banyak orang. Dan bukankah itu yang terpenting? Bahwa ada ruang untuk menyuarakan isu yang selama ini mungkin luput dari perhatian masyarakat luas.
Tentu, ini bukan soal pencapaian pribadi, tetapi lebih kepada tanggung jawab. Menjadi bagian dari kolom Sosok bukan sekadar pengakuan, tetapi juga amanah untuk terus berbicara, menyuarakan, dan berbuat lebih banyak demi perlindungan anak di Kota Tasikmalaya. Jika dengan munculnya nama saya di sana bisa membuat lebih banyak orang peduli terhadap isu ini, maka biarlah saya nikmati momen ini, bukan sebagai prestasi pribadi, tetapi sebagai kesempatan untuk terus berjuang.
Tanggung jawab dalam perlindungan anak bukan hanya berada di pundak pemerintah, tetapi juga menjadi tugas bersama seluruh elemen masyarakat. Orang tua, pendidik, komunitas, hingga pemangku kebijakan memiliki peran yang tidak bisa diabaikan. Jika kita hanya mengandalkan pemerintah tanpa ada kesadaran kolektif, maka berbagai permasalahan yang dihadapi anak-anak akan semakin sulit diselesaikan. Kota Tasikmalaya, sebagai pusat ekonomi di wilayah Priangan Timur, menjadi magnet bagi banyak orang untuk datang dan mencari penghidupan. Namun, di balik geliat ekonomi tersebut, ada tantangan besar yang mengintai, terutama bagi anak-anak dan remaja yang rentan terhadap berbagai pengaruh negatif.
Kenakalan remaja, pergaulan bebas, kekerasan fisik dan seksual, hingga geng motor semakin marak terjadi di kota ini. Jika tidak ada langkah mitigasi yang konkret dari pemerintah dan seluruh pihak terkait, maka problematika anak akan terus meningkat dan semakin sulit dikendalikan. Pemerintah harus hadir dengan kebijakan yang tidak hanya reaktif, tetapi juga preventif. Pendidikan karakter, penguatan ketahanan keluarga, serta penyediaan ruang-ruang positif bagi anak dan remaja harus menjadi prioritas. Jika kita ingin melihat generasi muda yang berkualitas, maka perlindungan anak bukan lagi sekadar wacana, tetapi harus menjadi gerakan bersama yang melibatkan semua pihak.
Apa saja yang saya sampaikan dalam kolom itu? Sebagian sudah bisa dibaca di samping foto saya—yang, jujur saja, terlihat agak tegang. Sebagian lainnya? Akan saya bagikan di postingan berikutnya. Karena sejatinya, perjuangan dalam perlindungan anak tidak berhenti pada satu tulisan di media, tetapi harus terus berlanjut di dunia nyata.
Tasikmalaya, 2 Desember 2015