Perkembangan teknologi yang begitu pesat telah mengubah banyak aspek kehidupan, termasuk cara manusia berinteraksi, bekerja, dan memperoleh informasi. Di era disrupsi teknologi ini, tantangan yang dihadapi organisasi kemahasiswaan seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) pun semakin kompleks. Jika dulu gerakan mahasiswa lebih banyak berkutat di ruang-ruang diskusi dan aksi massa di jalanan, kini dinamika pergerakan juga harus merambah ruang digital agar tetap relevan dan memiliki daya tawar di tengah masyarakat.
Kader PMII tidak bisa hanya mengandalkan pola gerakan yang konvensional. Tantangan zaman menuntut kader untuk lebih adaptif terhadap perubahan, memahami perkembangan teknologi, serta mampu memanfaatkan berbagai platform digital sebagai media dakwah, advokasi, dan penguatan ideologi. Jika tidak, PMII berisiko kehilangan eksistensinya dalam pusaran arus informasi yang semakin deras.
Disrupsi teknologi bukanlah ancaman, tetapi justru peluang bagi kader PMII untuk memperluas jangkauan gerakannya. Media sosial, website, podcast, hingga video kreatif bisa menjadi sarana efektif untuk menyebarkan gagasan, memperjuangkan kepentingan masyarakat, dan membangun narasi yang berlandaskan Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Dengan memanfaatkan teknologi, kader PMII bisa tetap eksis dan bahkan lebih progresif dalam menanggapi isu-isu yang berkembang.
Namun, di tengah kemudahan akses informasi, kader PMII juga harus tetap kritis terhadap arus digitalisasi. Era ini dipenuhi dengan hoaks, disinformasi, dan propaganda yang bisa menggiring opini publik ke arah yang menyesatkan. Oleh karena itu, kader PMII perlu membekali diri dengan literasi digital yang kuat, agar mampu menyaring informasi, menyampaikan kebenaran, dan tidak mudah terjebak dalam polarisasi yang merugikan.
Selain itu, kader PMII juga harus mampu menjadi agen perubahan yang membawa inovasi. Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, kontribusi kader tidak boleh sebatas aksi massa atau seminar akademik semata. Mereka harus mampu menciptakan solusi konkret berbasis teknologi, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun pendidikan. Kader PMII bisa memanfaatkan teknologi untuk mendukung gerakan ekonomi kreatif, memberdayakan masyarakat melalui digitalisasi, atau bahkan membangun platform-platform edukatif berbasis Islam Nusantara.
Untuk itu, pola kaderisasi di tubuh PMII juga perlu mengalami penyesuaian. Selain menanamkan nilai-nilai ideologis dan keislaman, pelatihan terkait teknologi, digital marketing, serta kepemimpinan di era digital harus menjadi bagian dari kurikulum kaderisasi. Dengan begitu, kader PMII tidak hanya cakap dalam berorganisasi, tetapi juga memiliki keahlian yang relevan dengan kebutuhan zaman.
Di era disrupsi ini, kader PMII harus mampu mengintegrasikan gerakan intelektual dengan gerakan digital. Aksi jalanan tetap penting sebagai bentuk advokasi langsung, tetapi harus diimbangi dengan narasi kuat di media sosial dan ruang-ruang digital lainnya. Dengan pendekatan yang lebih modern, kader PMII bisa lebih efektif dalam memperjuangkan kepentingan umat dan bangsa.
Eksistensi kader PMII di tengah disrupsi teknologi tidak akan ditentukan oleh seberapa sering mereka turun ke jalan atau berdebat di forum-forum diskusi. Lebih dari itu, eksistensi mereka akan diukur dari sejauh mana mereka mampu beradaptasi dengan perubahan, menciptakan inovasi, dan memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat.
Pertanyaannya, apakah kader PMII siap untuk bertransformasi dan menjadi aktor utama dalam membangun peradaban digital yang lebih inklusif, berbasis Islam Aswaja, dan berpihak kepada kepentingan rakyat? Ataukah mereka akan tetap nyaman dengan pola lama yang semakin kehilangan relevansinya di era ini?
12 Januari 2018
Oleh Azka Sudrajat
Penulis adalah Pengurus LAKPEDAM PCNU Tasikmalaya