Selasa, 18 Oktober 2016

Media, Penguasa, dan Peran Baru Pesantren di Era Digital


Sebelum era media sosial berkembang pesat seperti sekarang, opini publik selalu berada dalam kendali pemilik media. Siapa yang menguasai media, dialah yang bisa menentukan kebenaran versi mereka. Media pada masa itu erat kaitannya dengan uang dan kekuasaan. Orang-orang kaya dan penguasa memiliki hak istimewa untuk mengontrol informasi yang tersebar, sementara kelompok yang tak memiliki akses ke media nyaris tak terdengar suaranya.


Pada era Orde Baru, misalnya, kita melihat bagaimana media dikendalikan secara ketat oleh pemerintah. Kebebasan pers nyaris tidak ada, dan setiap suara yang berseberangan dengan penguasa bisa diberangus dengan mudah. Pemberedelan media yang kritis menjadi hal yang lumrah, sehingga masyarakat hanya bisa mengakses informasi yang sudah disaring oleh pemerintah. Dalam situasi seperti ini, kebenaran menjadi monopoli penguasa, sementara masyarakat hanya bisa menerima informasi tanpa bisa membantahnya.


Namun, setelah reformasi, media berbalik arah ke titik ekstrem lainnya. Jika dulu media dibungkam, kini kebebasan pers meluas tanpa batas. Sayangnya, kebebasan ini justru dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki modal besar. Para pebisnis mulai menguasai media dan menjadikannya alat untuk kepentingan politik dan ekonomi mereka. Media bukan lagi alat untuk menyuarakan kepentingan rakyat, melainkan senjata bagi elite politik dalam memperebutkan kekuasaan.


Dalam situasi ini, pesantren tetap berada di posisi yang kurang menguntungkan. Baik pada masa Orde Baru maupun di era reformasi, suara pesantren nyaris tak pernah diperhitungkan dalam narasi besar media. Pesantren lebih sering menjadi objek politik ketimbang subjek yang berperan aktif dalam perbincangan publik. Padahal, pesantren memiliki potensi besar dalam membangun opini dan memberikan perspektif alternatif terhadap berbagai isu sosial, politik, dan keagamaan.


Kini, dengan berkembangnya media sosial, situasi mulai berubah. Media tak lagi sepenuhnya dikuasai oleh segelintir orang. Siapa saja bisa beropini, membuat konten, dan mempengaruhi opini publik. Sebuah isu yang awalnya diabaikan media arus utama bisa menjadi perbincangan luas di media sosial dan bahkan memengaruhi kebijakan pemerintah. Kasus-kasus viral yang muncul di media sosial membuktikan bahwa kekuatan publik kini lebih besar daripada sebelumnya.


Momentum ini seharusnya dimanfaatkan oleh pesantren untuk lebih aktif dalam membangun narasi sendiri. Jika masyarakat sipil bisa mengubah opini media dan bahkan memaksa pemerintah untuk bertindak, maka pesantren pun bisa melakukan hal yang sama. Dengan mengembangkan jurnalistik berbasis pesantren, informasi tentang Islam, budaya, dan tradisi pesantren bisa lebih luas dikenal oleh masyarakat.


Namun, pertanyaannya adalah, apakah pesantren siap untuk masuk ke dunia digital dengan strategi yang matang? Atau justru tetap berada di pinggiran, sementara narasi tentang Islam dan pesantren terus didominasi oleh kelompok lain?


Oleh Azka Sudrajat

Penulis adalah Ketua Umum PC PMII Kota Tasikmalaya 2014-2015

Related Posts

Media, Penguasa, dan Peran Baru Pesantren di Era Digital
4/ 5
Oleh

Subscribe via email

Like the post above? Please subscribe to the latest posts directly via email.

0 Comments